semakin banyak kita membaca maka semakin sadarlah kita bahwa ternyata sedikit sekali yang kita ketahui

4/08/2012

Ini Dia, James Bond CIA



Julukan tersebut diberikan kepada Duane R. Clarridge atas sepak terjang, prestasi, dan kepiawaiannya sebagai perwira CIA yang memimpin berbagai operasi intelijen di seluruh dunia. Dari Kathmandu ke Kuwait, Baghdad sampai Managua, atau saat bermain mata dengan KGB dan tersandung Skandal Iran-Contra. Benar tidaknya julukan itu terjawab dalam buku A Spy of All Seasons, yang ditulisnya setelah 33 tahun bertugas di Badan Intelijen Pusat AS tersebut.
Lelaki tampan dan ramah ini adalah perwira intelijen tertinggi Amerika Serikat yang secara langsung terlibat dalam berbagai operasi rahasia di seluruh dunia. Kariernya dimulai ketika Central Intelligence Agency (CIA) bertandang ke Columbia, guna merekrut calon anggota korps intelijen internasional yang baru saja dibentuk. Bagi Dewey, begitu panggilan akrab Duane Ramsdell Clarridge, kesempatan itu merupakan tantangan yang menjanjikan berbagai petualangan menarik serta bisa menerapkan pengetahuan yang dipelajari di bangku kuliah.

Ibarat kail mendapatkan ikan, apa yang diminati Dewey klop dengan yang diinginkan CIA. Kecocokan itulah yang kemudian diterjemahkan Dewey selama 33 tahun malang melintang sebagai agen CIA yang andal dalam mencuri informasi rahasia, menyulut peperangan, mendukung kekuatan-kekuatan demokrasi, memerangi aksi terorisme, menyelamatkan nyawa, dan mempengaruhi langkah kebijakan luar negeri AS.

Peran yang dimainkannya dalam setiap operasi intelijen amat beragam. Ia pernah menyusup ke Irak secara rahasia untuk membujuk Presiden Saddam Hussein menyerahkan seorang teroris buruannya, meski kemudian gagal. Tergambar pula kepiawaian, ketekunan, dan kesabarannya ketika merekrut seorang agen dari negara Eropa Timur menjadi informan CIA. Sampai pada akhirnya dengan penuh tanggung jawab Dewey menghadapi kenyataan pahit, diadili atas tuduhan terlibat dalam Skandal Iran-Contra.

Panggilan hidup
Bisa jadi karena pengaruh kehidupan intelektual kedua orang tua saya yang dokter gigi, Duane Herbert Clarridge dan Alice Scott Ramsdell, sejak kecil saya sudah tertarik pada masalah-masalah politik. Lahir pada tanggal 16 April 1932 di Nashua, New Hampshire, masa remaja saya berjalan cukup menyenangkan. Masa itu perang dingin antara AS dan Uni Sovyet dan negara-negara komunis sudah cukup menarik perhatian kaum muda. Itulah sebabnya, selain mengambil kursus bahasa dan sejarah Uni Sovyet dan Asia Tengah, selepas SMU saya mendaftarkan diri pada tiga perguruan tinggi sekaligus. Yakni John Hopkins School of Advanced International Studies, Schools of International Affairs Columbia, dan Russian Institute. Dua pilihan pertama diterima, tapi saya gagal di Russian Institute. Akhirnya, pilihan jatuh pada Schools of International Affairs Columbia, Washington.

Pada bulan Februari 1954 datanglah orang-orang dari CIA ke Columbia untuk merekrut calon pegawai. Saat itu nama CIA belum begitu dikenal orang lantaran masih baru. Proses perekrutannya pun belum begitu rumit seperti sekarang. Mereka datang ke universitas-universitas, mewawancarai para dosen dan profesor apakah ada mahasiswanya yang cocok untuk mereka ambil.

Karena hasil studi tahun pertama dinilai bagus, akhirnya saya diterima masuk di Russian Institute. Berbareng dengan itu saya mulai menjalin hubungan serius dengan Maggie. Akhirnya, pada akhir studi di Russian Institute, saya menikahi Maggie di Columbia, Indiana, 2 April 1955. Nah, barangkali tinta yang tertulis di ijazah MA saya belum lagi kering datanglah panggilan dari CIA pada bulan Mei 1955.

Ketika itu markas besar CIA di Langley belum selesai dibangun. Beberapa kantornya masih tersebar di beberapa tempat. Setelah melapor ke sebuah gedung kayu yang terletak di Jln. Ohio Drive sepanjang Potomac, Washington, tak begitu jauh dari Lincoln Memorial Reflecting Pool, saya mengikuti orientasi pendahuluan bersama dengan calon pegawai lainnya.

Pada awalnya lembaga ini hanya memiliki dua direktorat utama, yakni Direktorat Operasi (DO) dan Direktorat Intelijen (DI). Direktorat Operasi yang juga sering disebut Clandestine Services bertugas mengumpulkan data intelijen umum yang bia-- sanya digali dari sumber-sumber manusia; mencari sasaran kontra intelijen; dan melakukan operasi rahasia baik politis ijaaupun militer untuk melindungi kepentingan AS di luar negeri.

Pada saat saya bertugas, yang dipandang sebagai ancaman kepentingan AS adalah pengaruh komunis Sovyet dan Cina serta negara-negara bonekanya. Sebaliknya, Direktorat Intelijen mencari dan mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber (termasuk dari Direktorat Operasi) untuk diolah dan dianalisis. Dari situ kemudian dibuat penilaian dan kesimpulan mengenai tren politik, ekonomi, dan militer dunia. Evaluasi ini diberikan kepada presiden AS dan para pembuat keputusan, sehingga langkah atau kebijakan politik yang mereka putuskan benar-benar berdasarkan informasi lengkap.

Sebenarnya, keputusan ke bagian mana kita akan ditugaskan sudah dibuat berdasarkan hasil tes pendahuluan, latar belakang akademis, dan minat kita. Buktinya, tanpa diajak rembukan sebelumnya, tahu-tahu saya harus masuk ke Clandestine Services atau Direktorat Operasi. Sebulan setelah itu saya menjalani serangkaian tes uji kebohongan sebagai tahap akhir perekrutan.

Kandidat yang sebelumnya sudah memiliki gelar sarjana muda di lembaga ini diberi peringkat GS-5 (setingkat dengan letnan dua dalam militer); seorang master dihargai sebagai GS-7, dan seorang yang bergelar Ph.D (doktor) peringkatnya GS-9. Tingkat yang lebih tinggi lagi setelah itu adalah GS- 11, dan seterusnya.

Selama minggu-minggu orientasi, sebagian besar waktu kami dijejali dengan serangkaian pelajaran mengenai sejarah dan profil beberapa negara tertentu. Informasi itu diberikan oleh Direktorat Intelijen. Terkadang kami diberi tugas kecil atau simulasi. Juga diajari bagaimana melakukan briefing intelijen dari yang sederhana sampai yang rumit. CIA kemudian memilah-milah kami untuk penugasan sesuai dengan keahlian akademis kami masing-masing.

Lantaran belum menjalani wajib militer, tahun 1950-an CIA memberi pilihan kepada kami para calon anggotanya, menjalani wajib militer di Angkatan Darat atau Angkatan Udara. Sesuai dengan peraturan yang ada, program di AU dirasa lebih gampang. Setelah menjalani latihan dasar, yang bersangkutan masuk ke sekolah calon perwira (officer candidates school = OCS) dan berdinas di AS selama 2 tahun sebelum kemudian kembali bergabung dengan CIA.

Sementara itu program AD tampaknya lebih keras, namun seseorang hanya menjalani penugasan di pasukan selama 6 bulan setelah itu kembali ke CIA, sekalipun Anda masih tercatat sebagai anggota pasukan sampai akhirnya menyelesaikan 2 tahun wajib militer.

Dari angkatan saya ada empat orang yang memilih wajib militer di angkatan darat. Salah satu di antaranya adalah John Stein, seorang sarjana lulusan Yale asal Rhode Island. la merupakan atlet olahraga dan pribadi yang menyenangkan. Selama orientasi kami cepat menjadi akrab dan menjalin persahabatan erat. Untunglah, saya dan Stein ditempatkan di unit pelatihan yang sama, sebuah batalion artileri Airborne Division 101 yang terkenal itu.

Komandan kami, seorang tentara senior, agak curiga begitu melihat kami berdua. Penampilan kami yang amat berbeda dengan prajurit-prajurit lain barangkali menimbulkan dugaan bahwa kami ini spion yang diselundupkan di dalam tentara. Maklum, tampang dan kelakuan kami yang berpendidikan universitas nyatanya terlihat mencolok di antara anggota lain yang rata-rata hanya sekolah menengah dan berasal dari Selatan.

Untunglah tak seorang pun di antara anggota batalion ini yang mengetahui hubungan saya dengan CIA. Apalagi setelah itu kami "dibuat" sama. Rambut potong pendek dan seragam militer yang serba hijau. Kami tidur di bawah tenda besar yang berkapasitas 20 orang. Air panas untuk keperluan mandi harus kami masak sendiri dengan tungku berbahan bakar batu bara.

12 jam di Baghdad
Hari itu di musim semi tahun 1986 saya berada di perut sebuah jet eksekutif yang melintas di atas daratan Timur Tengah. Di bawah terbentang jalur pipa minyak Trans-Arab yang menembus Arab Saudi, Yordania sampai Libanon. Jet kecil ini hanya berisi tiga penumpang. Selain pilot, tak ada orang lain kecuali mitra tugas saya, perwira CIA bernama samaran Wallace L. Goodspeed. Sudah menjadi kebijakan, demi keamanan, semua perwira yang betugas ke luar negeri harus memakai nama samaran, tak terkecuali saya dengan nama Dax P. Le- Baron.

Setelah penerbangan berlangsung 35 menit, pilot mengarahkan pesawat menuju ke Baghdad. Saat itu Perang Iran – Irak masih berlangsung sengit. Nah, lantaran khawatir kalau pihak Irak akan kalah, secara sembunyi-sembunyi AS membantu Irak dengan memberi dukungan jasa intelijen perang. Sebagai balasannya, Irak berjanji menghentikan kegiatan terorisme di seluruh dunia dan memberi informasi kepada AS tentang kegiatan para teroris. Selama ini AS sudah memberikan jasa serta dukungan intelijen untuk meningkatkan kinerja tentara Irak terutama dalam pertempuran udara melawan Iran. Tapi nyatanya Baghdad tidak memenuhi kewajibannya dalam membantu AS.

Kamis, 17 Oktober 1985, kelompok teroris Palestina pimpinan Abu Abbas membajak sebuah kapal pesiar Italia, Achille Lauro berpenumpang 454 orang, yang sedang dalam pelayaran dari Alexandria ke Port Said. Mereka membunuh seorang warga AS penumpang kapal tersebut yang cacat di kursi roda, Leon Klinghoffer dan melemparkannya ke laut. Pada akhirnya kapal tersebut ke Mesir. AS meminta pihak Mesir menyerahkan para pembajak termasuk Abu Abbas. Para teroris kemudian terbang ke Tunisia.

Letkol Oliver North beserta timnya dari Badan Keamanan Nasional AS tetap berupaya menangkap Abu Abbas dan kelompoknya. Caranya, mengirim pesawat tempur dari gugus tugas AL Armada ke-6 yang berlokasi di Laut Tengah, dan memaksa pesawat Egyptair yang ditumpangi Abbas mendarat di bandara milik NATO di Sisilia, Italia. Celakanya, pemerintah Italia pun tidak mau menahan Abbas. Malah kemudian memerintahkan pesawat itu ke Belgrade, Yugoslavia, untuk selanjutnya menuju Baghdad.
Nah, tindakan Saddam Husssein melindungi Abbas inilah yang dianggap AS melanggar persetujuan kerja sama timbal balik antar kedua negara. Selain itu Baghdad diduga masih menyimpan teroris lain semisal Abu Ibra yang dikenal sebagai pembuat bom yang andal. Barangkali Irak masih memerlukan Abu Ibra untuk melakukan teror balas dendam terhadap negara-negara yang memeranginya semisal Iran dan Suriah.
Sebagai perwira operasional bagian counter-terrorism, saya diberi tugas Washington membujuk Baghdad untuk bekerja sama memerangi tindak terorisme. Kongkretnya, meminta Abu Abbas untuk diadili. Rupanya rencana yang telah disusun tidak berjalan mulus. Untuk mendapat kepastian apakah bisa bertemu dengan Saddam Hussein saja kami harus menunggu selama seminggu, sebelum akhirnya mendapat lampu hijau untuk segera berangkat ke Baghdad.

Pukul 12.30 kami mendarat di bandara Kota Baghdad, bukan di bandara internasional yang berada di luar kota. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun berperawakan tinggi besar, berwajah keras, menyambut kami dengan berkacak pinggang. Dr. Fadil Barak, kepala Direktorat Intelijen Umum Irak (DGI). Tubuhnya dibalut seragam hijau khaki yang menjadi warna resmi Partai Baath, lengkap dengan sepucuk pistol di pinggang. Barak adalah doktor lulusan Universitas Patrick Lumumba, Moskwa, dan seperti layaknya para pejabat tinggi Irak, ia masih sanak familinya Saddam Hussein.

Kami tidak menuju markas besar DGI, melainkan dibawa ke sebuah vila tamu VIP yang berada di sebuah bangunan tertutup dikelilingi tembok di luar Kota Baghdad. Maklum, selama peperangan markas besar DGI merupakan sasaran rudal-rudal Scud yang ditembakkan Iran. Meskipun besok malam pukul 00.30 kami sudah harus keluar dari Baghdad untuk melanjutkan penerbangan dengan Air France ke Paris, Barak menyediakan fasilitas layaknya kami akan tinggal lama. Kamar tidur mewah, dengan tempat tidur super king-size dan bak mandi bertatahkan perhiasan yang mampu menampung tiga orang.

Tentu saya tidak naif berharap Saddam Hussein begitu saja mau melepaskan Abu Abbas. Kami sudah menyiapkan beberapa rencana alternatif untuk melakukan tugas ini. Antara lain, menangkap Abbas tanpa menimbulkan implikasi bagi pemerintah Irak meski menuntut kerja sama rahasia dengan Baghdad. Yakni agar Irak mengusahakan sebuah pesawat Irak yang diterbangkan ke Yaman dengan Abu Abbas di dalamnya. Yaman adalah salah satu di antara sedikit tempat yang masih terbuka bagi Abu Abbas. Kalau itu pun gagal, kami masih menyiapkan pilihan cara lain sambil mengharap pemerintah Baghdad menawarkan jalan keluar yang lebih baik.

Mendengar penuturan rencana kami, Barak terlihat kaget. Barangkali ia menganggap kami gila, berani mengajukan permintaan tesebut. Jelas, ia tak habis mengerti mengapa hanya untuk seorang nyawa warga AS ia harus menyerahkan Abu Abbas, sementara setiap hari ia menyaksikan mayat bergelimpangan sebagai korban pertikaian Irak - Iran, belum lagi operasi "pembersihan" oleh rezim Saddam Hussein atas lawan politiknya di dalam negerinya.

Sebaliknya, Barak justru menuduh kami tidak memberi dukungan intelijen yang mencukupi pada tentara Irak. Memang saat itu posisi tentara Irak di Semenanjung Al Faw terdesak. Padahal bila Iran berhasil memenangkan perang di Al Faw, mereka akan merambah Basra dan akhirnya membahayakan rezim Irak. Barak mengeluh mengapa AS tak memberi tukungan intelijen pada front ini, terutama ketidakberdayaan armada udara

Irak menggempur fasilitas minyak dan sasaran militer Iran.
Padahal bukan di situ masalahnya. Justru para pejabat militer Irak sendiri yang tidak tahu bagaimana cara mengggunakan data intelijen tersebut dalam penugasannya kepada pilot tempur yang membutuhkannya. Apalagi, lantaran takut akan rudal pertahanan pihak Iran, para pilot Irak tak berani terbang di bawah 40.000 kaki untuk menjatuhkan bom dan roket. Terang saja, tembakan mereka tidak akurat. Toh, kenyataan itu tak bisa mereka terima, apalagi para pejabat tinggi militer Irak tidak bisa mengecek ke lapangan.
Terpaksa, Goodspeed menjelaskan panjang-lebar kepada analis intelijen Irak.

Meskipun sebagai kepala dinas intelijen Irak, saya tahu kata akhir persetujuan atas nasib Abu Abbas bukan hanya di tangan Barak. Saddam Hussein yang akan memutuskan dengan atau tanpa persetujuan Barak. Ketika saya mendesak agar ia segera mengatur waktu pertemuan dengan Saddam, Barak malah acuh tak acuh. Sementara kami makan siang, Barak bercakap-cakap di telepon. Rupanya mereka mengulur-ulur waktu saja. Barangkali ini karena di awal kedatangan kami sudah melakukan "kesalahan", yakni mengatakan bahwa kami hanya singgah di sini selama 12 jam. Dengan demikian mereka tinggal menunggu habisnya waktu.

Benar saja, ketika saya katakan kami bisa tinggal di sini lebih lama sampai tujuan kami tercapai, tampaknya mereka mulai berpikir untuk melakukan sesuatu.
"Sesuatu" yang dimaksud, kami harus menemui juru bicara pemerintah Irak, yakni Menlu Tariq Aziz di kantornya. Bangunan kementerian luar negeri itu amat megah, dengan atapnya yang rendah dan perabotan mewah. Barangkali karena masih dalam suasana perang, lampu di semua ruangan redup. Tepat pukul 21.00 Tariq Aziz yang berperawakan pendek gemuk itu menyambut kami. Asing rasanya melihat seorang menlu berseragam militer dengan pistol di pinggang.

Tak jauh berbeda dengan yang kami hadapi sebelumnya, pertemuan kami dengan Aziz tidak mendatangkan manfaat, kecuali hanya saling melontarkan gagasan. Menurut Aziz, permintaan kami tidak mungkin dapat dipenuhi. Ia meyakinkan kami bahwa pernyataannya itu sudah sepengetahuan Saddam Hussein, meski kalau mau kami bisa bertemu Saddam Hussein. Tahu bahwa ini sekadar basa-basi kami akhirnya memutuskan pulang saja. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00.

Begitu kembali ke vila, Barak masih mendesak kami tentang dukungan intelijen dari AS. Ketika kami tanyakan lagi kapan bisa bertemu Saddam Hussein mengingat waktu kami sudah hampir habis, Barak lalu menelepon seseorang. Setelah itu ia mengatakan bahwa Presiden Saddam Hussein temyata tidak bisa menemui kami karena harus.menghadiri acara di Al Faw.

Kami akan segera ke bandara, tapi bahkan setelah makan malam, Barak masih menahan keberangkatan kami. Perundingan demi perundingan ini justru memusingkan kami berdua. Sejumlah pertanyaan berkecamuk dalam benak. Benarkah Saddam Hussein masih mempertimbangkan untuk menerima kami? Atau bisa jadi ini semua hanya provokasi Barak.

Kini sudah pukul 24.00. Kami masih berada di vila. Apa lagi yang harus ditunggu? Ketika telepon berdering Barak terlibat percakapan cukup lama dengan suara di seberang. Rupanya itulah jawaban, kami sudah boleh meninggalkan negeri ini. Pupus sudah harapan kami untuk bisa bertemu Saddam.
Sebuah sedan Mercedes datang. Barak membuka pintu dan ternyata ia sendiri yang mengantar kami ke bandara. Saya duduk di kursi depan sementara Goodspeed di belakang. Tak pernah saya melihat orang mengemudikan mobil sekencang ini.

Ibaratnya roket darat, mobil ini berlari 200 km lebih/jam. Dalam hati saya marah-marah ternyata Irak tidak bisa dipercaya. Mengapa AS mau memberi dukungan kepada negeri ini sementara Baghdad tetap saja melindungi para penjahat. Saya amat kecewa dengan kegagalam misi ini.
"Katakan pada Abu Abbas, saya mencarinya. Begitu saya dapatkan akan saya bunuh!" Begitu teriak saya keras-keras kepada Barak di tengah deru mobil. Padahal dalam tugas ini kami dilarang melakukan tindak pembunuhan. Mendengar omelan saya, ternyata Barak cuma tersenyum.

Kami sudah terlambat 1,5 jam dari jadwal penerbangan Air France, ketika tiba di bandara. Anehnya, pesawat tersebut terlihat masih nongkrong di situ. Ternyata sebuah panser tentara Irak diparkir melintang di depan hidung pesawat. Akhirnya, kami dilepas setelah sebelumnya diberi oleh-oleh bingkisan masing-masing sekotak kurma yang terbungkus rapi. Sekali lagi, dengan wajah tanpa ekspresi Barak mengantar kami ke pintu masuk pesawat dan mengucapkan selamat jalan. Meski lega, pandangan mata sinis dan sambutan tak ramah dari para penumpang Air France yang sudah menunggu cukup lama membuatkami merasa kecut.

Cukup berharga
Tahun 1968, saya diangkat sebagai kepala CIA di Istanbul, Turki. Saat itu perhatian pemerintah AS masih terfokus pada pembunuhan Martin Luther King dan Bobby Kennedy. Namun mata dan telinga CIA lebih tertarik pada suhu politik Cekoslowakia yang memanas. Pasukan Uni Sovyet didukung sekutunya anggota Pakta Warsawa menyerbu Praha, Agustus 1968. Insiden ini berakhir dengan tergulingnya penguasa resmi Alexander Dubcek yang kemudian digantikan dengan pemerintahan boneka Sovyet.
Tak lama kemudian saya menerima pesan dari Markas Besar CIA.

"Mengingat situasi Cekoslowakia semakin gawat dan diramalkan bisa memicu peperangan yang meluas di Eropa, maka kerahkan seluruh tenaga kalian untuk merekrut agen dari Sovyet atau negara Blok Timur di wilayahmu."

Markas Besar menginginkan pemahaman yang lengkap atas implikasi pendudukan Uni Sovyet di Cekoslowakia. Apakah itu hanya sebuah insiden lepas atau bisa menjadi pemicu lahirnya peperangan yang berpotensi menyulut konflik NATO dengan Pakta Warsawa. Dengan upaya merekrut agen dari Blok Timur mereka berharap bisa memperoleh masukan untuk memperkirakan tujuan manuver Sovyet.
Bagi tim kami di Istanbul tugas ini tidak mudah. Sebelumnya, kami pernah melakukan hal tersebut tanpa memperoleh hasil. Apalagi para agen dari Sovyet atau negara Eropa Timur pun diam-diam melakukan rencana serupa. Ini tercermin dari pengalaman saya beberapa kali melakukan kontak dengan para anggota KGB.

Kami anggap upaya merekrut agen dari Blok Timur selama Perang Dingin ini akan menghabiskan waktu dan tenaga saja. Sebagai gantinya kami mengalihkan perhatian dengan mendekati orang-orang yang sering berhubungan dengan para perwira Sovyet atau negara-negara Blok Timur.
Kebetulan di bulan November 1968, saya berkenalan dengan pasutri Wladyslaw dan Irina Adamski, karyawan Konsulat Jenderal Polandia di Istanbul. Saat itu saya berada di sebuah feri yang sedang melayari Selat Bosporus, dari Yalova kawasan Turki yang masuk daratan Asia ke Sirkeci yang termasuk daratan Eropa. Wladyslaw atau yang kerap dipaggil Slava ini adalah lelaki tampan yang fasih berbahasa Inggris dan Turki. Sementara sang istri, Irina, cukup cantik meski mode pakainnya kuno seperti layaknya wanita Eropa Timur.

Dua anak mereka yang masih kecil ditinggal di Polandia. Ini sesuai dengan kebijakan intelijen negara Eropa Timur. Para diplomatnya hanya diizinkan berkumpul dengan keluarganya dua kali setahun selama liburan. Artinya, anak-anak tersebut dijadikan semacam "sandera" untuk konduite orang tuanya selama bertugas di luar negeri. Sebagai pegawai urusan perdagangan mereka sering bepergian. Meskipun begitu karena tinggal di apartemen kompleks konsulat, setiap kepergian mereka pasti diketahui atasannya.

Pembicaraan di atas feri itu berlangsung ramah dan hangat. Kami saling bertukar kartu nama. Saya mencoba mengundang makan malam di akhir minggu kepada pasutri tersebut. Seperti dugaan saya, rupanya butuh izin dari atasannya. Bagi saya, ini merupakan uji coba. Bila mereka menerima tawaran saya bisa jadi Adamski adalah agen rahasia atau atasannya justru sengaja mengumpankan pasutri ini sebagai agen ganda.
Kemungkinan lain, Slava akan bertindak untung-untungan. Memenuhi undangan saya tanpa izin, dan ini yang saya harapkan. Tapi beranikah Adamski, karena langkah ini berisiko tinggi bagi keselamatannya?

Segera saya memberitahukan markas CIA di Langley, AS, ikhwal perekrutan Adamski. Rupanya Langley pun berpikiran sama. Mereka setuju. Bahkan markas besar memiliki informasi menarik tentang diri Irina. Dari catatan rahasia CIA diketahui, ibu Irina adalah asli Rusia dan sudah pernah menikah sebelumnya. Dari perkawinan itu lahir kakak tiri Irina, lelaki perwira militer Uni Sovyet berpangkat mayor yang kini bertugas di Staf Umum Angkatan Bersenjata Polandia. Informasi inilah yang membuat Adamski berharga untuk direkrut.

Istri minta cerai

Akhirnya, Sabtu sore itu pasangan Adamski benar-benar datang. Dari perjumpaan di rumah ini saya tahu bidang pekerjaan yang digeluti Adamski. Mengingat kontak berikutnya tidak mudah lantaran telepon di rumah pasangan ini disadap oleh kedutaannya, mumpung ketemu saya merencanakan janji ketemu selanjutnya. Namun Adamski tidak memberi jawaban pasti. Kecuali hanya mengatakan bahwa dirinya sibuk. Sementara hubungan kami hanya sampai di sini.

Tanpa putus asa, saya menyelidiki beberapa perusahaan yang diduga sering berhubungan dengan Adamski. Dari sini saya menemukan sebuah perusahaan mitra bisnis Adamski dan kebetulan seorang pegawainya saya kenal, Sebastian Wittel. Lewat informasi dari Wittel inilah saya bisa menjumpai Adamski lagi.
Pertemuan kedua di dekat kantor Wittel berlangsung santai, meski semula Adamski ragu-ragu. Sengaja percakapan yang saya lakukan berkisar pada hal-hal ringan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Adamski mengatakan bahwa ia akan memancing di Kucuk Cekmece, kira-kira sepuluh hari lagi. Kucuk Cekmece adalah sebuah danau yang terletak di barat daya Istanbul yang terkenal banyak ikannya. Saya berbohong bahwa saya biasa mancing di sana. Itu artinya, suatu saat nanti kita pasti bisa bertemu di tempat tersebut. Sekali lagi Adamski tidak menunjukkan reaksi.

"Umpan" yang ternyata tidak mendapat reaksi ini agak mengecewakan. Tapi saya tak boleh surut. Ini sekaligus merupakan ujian lanjutan, sampai berapa jauh Adamski diawasi oleh negaranya? Kalau mau dijadikan sebagai agen ganda, pastilah mereka tidak terburu-buru memberi peluang Adamski untuk berhubungan dengan saya. Itulah sebabnya, momentum memancing ini harus benarbenar saya manfaatkan. Hari berikutnya saya meminjam peralatan pancing dari seorang teman dan berlatih di Selat Bosporus.
Awal Februari 1969, cuaca begitu dingin. Pagi itu pukul 07.00 saya sudah berada di Danau Cekmece. Dengan speedboat sewaan saya meluncur ke lokasi yang sebelumnya telah saya survei. Dari sini saya bisa leluasa melihat kedatangan para pemancing. Sambil berakting layaknya pemancing andal, diam-diam mata saya mengamati siapa saja yang datang.

Dua jam kemudian terlihat ia datang. Adamski ternyata tidak sendirian. Ada tiga orang lain menemaninya. Meski kecewa, saya ingin melihat apa reaksi Adamski bertemu lagi dengan saya di sini. Pelan-pelan perahu saya kayuh mendekati mereka. Setelah dekat, ia tidak menyapa, juga tidak melambaikan tangan, meski jelas-jelas ia menatap saya. Rupanya ia tidak ingin teman-temannya tahu bahwa ia kenal saya. Fakta ini menarik. Itu artinya pertemuan-pertemuan kami selama ini sama sekali tidak diketahui konsulatnya. Namun, proyek pemancingan ini tak membuahkan apa-apa. Setelah itu hubungan kami putus lagi.

Saya tidak tinggal diam. Agen kami yang ada di biro-biro perjalanan di Turki memberitahukan bahwa akhir bulan ini Adamski dan rombongannya mau berlibur ke Bursa, bekas ibu kota Kekaisaran Ottoman pertama yang terkenal dengan bangunan kuno, hasil kerajinan keramik, dan sumber air panas. Kota yang jadi pintu keluar Istanbul ini setiap akhir minggu pasti ramai oleh wisatawan. Informan kami juga memberi tahu di hotel mana Adamski menginap. Oleh karena itu saya memutuskan untuk menginap tak jauh dari penginapan Adamski. Sempat terbersit kekhawatiran, jangan-jangan kemunculan saya di Bursa akan menimbulkan kecurigaan Adamski. Tapi sebaliknya, langkah ini bisa dianggap ujian terakhir, akan berhasilkah rencana saya merekrut Adamski?
Sejak pukul 10.00 saya sudah nongkrong di lobi hotel tempat Adamski akan menginap. Menjelang tengah hari mereka muncul. Sengaja saat itu saya beranjak ke luar hotel untuk kembali ke penginapan. Benar saja, begitu melihat saya, mereka amat terkejut, bahkan mungkin curiga. Benarkah semua ini "kebetulan" belaka? Mengapa saya bisa muncul di mana-mana? Di dekat kantor Wittel, di Danau Cekmece, dan sekarang di hotel ini?
Setelah lepas dari kagetnya, ia tersenyum. Tawaran untuk bertandang ke hotel saya untuk sekadar minum bersama Irina, diterima. Tapi ia akan menemui saya sendirian saja. Dalam penantian ini saya bertanya-tanya. Apakah ia masih terus diawasi atau ia mau datang atas kemauan sendiri. Saya waswas apakah rencana saya bisa terlaksana. Pukul 19.00 Adamski datang sendirian, sedangkan Irina keluar bersama rekannya.
Ternyata setelah itu kami tak bisa berhubungan lagi. Apalagi Mei 1969, Adamski cuti pulang ke Polandia. Sejak itu kami sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan musim panas tahun 1970 Maggie bersama kedua anak kami pulang ke Amerika. Dengan alasan tak tahan lagi mengikuti jalan hidup saya, Maggie mengajukan cerai. Sementara itu situasi dalam negeri Turki semakin memburuk. Konsul jenderal Israel terbunuh di flatnya, tak jauh dari tempat saya tinggal.

Gara-gara aborsi
Akhir Maret 1971 perselisihan antara pemerintah sipil Turki dengan pihak militer memuncak dan akhirnya militer memegang tampuk pemerintahan Turki. Dalam situasi yang tak menentu saya bertemu dan jatuh cinta pada wanita lain, yakni Helga. Seakan tak mau tahu dengan masalah keluarga yang saya hadapi, CIA tetap mendesak agar upaya perekrutan tersebut diteruskan.

Tahun 1972 sudah berjalan. Saya mencoba mencari informasi keberadaan Adamski tapi tak berhasil. Sampai pada Agustus 1972, dengan tak terduga saya menerima telepon dari Adamski. Dari suaranya terkesan ia sedang mengalami kesulitan. Saya disuruh menemuinya di Hotel Buyuk, Ankara, sebuah hotel mewah milik pemerintah yang terletak di Boulevard Ataturk, berseberangan sudut dengan Kedubes AS dan persis di muka kantor misi dagang Uni Sovyet. Pada prinsipnya ia memberi tahu bahwa Irina hamil. Padahal itu tidak mereka kehendaki lantaran dengan kehamilan itu, mereka bisa dipulangkan ke Polandia dalam waktu yang tak bisa ditetapkan. Itulah sebabnya ia minta tolong dicarikan obat untuk aborsi.

Tentu saja permintaannya ini menimbulkan dilema bagi saya. Apalagi setelah Markas Besar mengirimkan pesan kawat yang isinya: "Bagaimanapun Anda tidak bisa memberikan pil aborsi tersebut kepada FELIX". Felix adalah nama sandi Adamski yang kami gunakan untuk berkomunikasi dengan pusat.
Membantu Adamski melakukan aborsi sama saja kami melakukan tindakan kriminal. Meskipun sesungguhnya ini lebih merupakan persoalan moral ketimbang masalah medis. Padahal saya yakin bantuan ini merupakan kunci keberhasilan kami merekrut Adamski. Kalau tidak, pasutri ini akan dipulangkan ke Polandia dan sia-sialah usaha kami selama ini.

Mau tak mau keputusan harus dibuat. Perhitungan saya tidak meleset. Setelah pemberian pil itu semuanya menjadi lancar. Adamski bersedia menjadi agen kami. Bahkan ia mengikuti tes uji kebohongan sebagai syarat dari CIA.

Dua pertemuan berikutnya saya manfaatkan untuk melatihnya memakai peralatan komunikasi sebagai alat kontak. Sebuah radio transistor gelombang pendek sudah dimodifikasi sedemikian rupa tanpa dikenali. Dengan radio ini Adamski bisa menangkap serangkaian nada suara yang dipancarkan pada gelombang yang akan kami berikan. Selain itu kami berikan juga sebuah alat pengurai nada tersebut, mirip kalkulator - yang pernah saya pakai sewaktu bertugas di Nepal. Dengan alat itu Adamski bisa menerjemahkan nada-nada yang dipancarkan tersebut ke dalam huruf-huruf dan kata yang berisi pesan-pesan dari kami.

Ia harus memilih pada jam-jam berapa siaran itu dipancarkan, agar bisa didengarkan di rumah. Untuk mengetahui atau sebagai pertanda siaran mana yang diperuntukkan baginya, ia harus memilih lagu pembuka. Nah, begitu terdengar lagu pembuka tersebut ia akan tahu bahwa pancaran nada-nada berikutnya itulah yang akan berisi pesan kami. Adamski memilih lagu Volga Boatmen's Song, sebuah lagu Rusia sebagai tanda.

Semua komunikasi harus dilakukan lewat tulisan rahasia (SW). Kecuali dalam keadaan darurat, kami tidak akan pernah memakai fasilitas telepon. Setiap kali bertugas ke luar kota atau ke luar negeri, ia harus memberitahukan terlebih dahulu. Lima hari sesudahnya kami harus bertemu. Lokasi dan waktu standar disepakati. Di kantor pos pusat dan pukul 12.00 di setiap kota tujuan.
Nah, pada akhir perjumpaan saya menyerahkan materi SW dan daftar informasi yang harus didapat dari saudara tirinya yang menjadi anggota militer Polandia. Sejak itulah Adamski menjadi "orang" CIA yang "bertugas" di Polandia dan sekitarnya.

Ditawar orang
Terkuaknya Skandal Iran-Contra awal tahun 1987 membuat pemerintahan Ronald Reagan mendapat kecaman baik dari Kongres maupun dari Senat AS. Laksamana Muda John Poindexter, kepala Badan Keamanan Nasonal (NSC) AS, mengaku telah melakukan operasi rahasia; mengirimkan uang hasil penjualan senjata ke Iran untuk membiayai kegiatan gerilyawan Contra di Nikaragua. Kongres menuntut diadakannya penyelidikan dan pengadilan atas diri mereka yang terlibat dalam skandal itu. Selain Letkol Oliver North termasuk pula jajaran CIA.

Saat itu sebagai kepala Pusat Penanganan Antiteroris (CTC), di Markas Besar CIA Langley, saya pun tak luput dari penyelidikan Komisi Walsh atas kasus Iran-Contra. Sambil menunggu nasib, ada saja "cobaan" atas integritas pengabdian saya terhadap tugas selama ini.
Suatu hari di bulan Mei, telepon di rumah berdering.

"Saya ingin memberikan tawaran menarik kepadamu," ujar suara dari seberang tanpa mau menyebut jati dirinya. Saya tidak mengenal suara tersebut. Tapi ia menganjurkan agar saya menunggu telepon berikutnya di sebuah telepon umum dekat rumah. Entah kenapa saya tertarik. Yang jelas si penelepon tahu persis siapa yang sedang dihadapi. Paling tidak tahu kalau telepon rumah saya sedang disadap pemerintah lantaran saya sedang menghadapi penyelidikan dari Komisi Walsh. Terdorong rasa penasaran, saya ikuti saja instruksi telepon gelap ini.

Segera saya larikan mobil ke telepon umum terdekat, sekitar lima blok dari rumah. Benar. Tak lama kemudian telepon berdering. Suara yang sama memerintahkan saya menuju ke telepon umum berikutnya. Proses sama diulangi pada tahap berikutnya. Kali ini dengan jarak waktu yang semakin pendek di antara dua panggilan telepon, bahkan barangkali terlalu pendek bagi seseorang yang tidak terlatih.
Suara yang saya dengar, "Saya tahu selama ini kamu diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan CIA khususnya. Bayangkan, setelah mengabdikan hidup selama 30 tahun di CIA, ibaratnya sekarang ini kamu ditusuk dari belakang. Apakah kamu tidak merasa dikhianati?"

"Apa maksud Anda? Apa yang Anda inginkan?"
"Sebenarnya kamu bisa membalas pemerintahmu kalau mau!"
"Oh, saya tidak begitu tertarik. Good byel" kata saya sambil menutup telepon.
Rupanya permainan ini belum berakhir. Beberapa hari kemudian telepon kembali berdering. Taktik yang dipakai masih sama. Saya disuruh lari dari telepon yang satu ke telepon umum berikutnya. Kali ini mereka memakai jalur telepon umum yang berada jauh dari rumah saya. Meskipun naluri awal tidak mau melayani "permainan" ini, rupanya saya tergoda ingin tahu lebih jauh.

Saya tanyakan apakah ia menyangka saya akan balas dendam kepada pemerintah AS. Suara dari seberang membuat saya semakin penasaran. "Kami akan segera memberitahukan kepadamu." Beberapa waktu kemudian muncul lagi panggilan telepon ketiga.
"Misalnya benar, saya marah karena perlakuan pemerintah kepada saya sekarang ini. Lalu mau apa?" saya sengaja memancing si penelepon.
"Tentu kamu sadar, selama ini kamu memegang kunci rahasia yang bisa membongkar elemen penting pada sistem dan peralatan pengumpulan data intelijen AS."
Nah, benar 'kan. Orang tersebut menginginkan informasi intelijen AS. Tak bisa dipastikan apakah ia tahu betul saya punya akses ini, atau hanya menduga saja lantaran posisi dan pengalaman saya selama di CIA.
"Misalnya saya mengetahui rahasia yang Anda inginkan. Lantas saya akan melakukan balas dendam. Apa yang mesti saya lakukan?"

Jawaban yang saya terima begitu cepat, "Coba bayangkan, kamu 'kan memiliki akses ke banyak penerbitan di luar negeri atau jaringan informanmu yang luas. Kamu bisa membocorkan rahasia itu semuanya ke luar negeri tanpa diketahui orang."

Yang mereka inginkan ternyata informasi-informasi yang amat sensitif. Karena takut terpancing, saya tidak mau berbicara lebih mendalam. Prinsipnya, mereka menganjurkan saya menyiarkan semua rahasia intelijen yang top-secret ke luar negeri. Saya menduga penelepon terdiri atas lebih dari satu orang. Tujuan mereka, menggunakan rahasia ini untuk menghancurkan reputasi CIA dan merusak hubungan AS dengan negara-negara lain, atau untuk mengancam pemerintah agar menghentikan penyelidikan Skandal Iran-Contra. Tapi rasanya bukan profesional dari badan intelijen negara asing, lantaran mereka lebih tertarik untuk mengeruk informasi yang saya ketahui ketimbang mau membocorkan kepada dunia internasional. Apalagi tak terbersit isyarat mereka akan memberi imbalan untuk informasi dari saya.

Saya melaporkan hal ini kepada pengacara pribadi saya, Bill McDaniel. Selain itu juga menginformasikan kepada Barry Kelly, mantan rekan kerja di CIA yang sekarang bertugas di NSC. Dari Kelly informasi ini diteruskan kepada Jenderal Collin Powell yang saat itu adalah penasihat keamanan nasional presiden AS. (9 Kisah Nyata)

0 komentar:

Posting Komentar